"Dari pada meracuni masyarakat, lebih baik ikan-ikan itu saya buang ke laut," kata Effendy, seorang nelayan tangkap dari Donggala, Sulawesi Tengah, dengan nada serius.

Ikan yang dicurah itu pun tidak main-main jumlahnya. Hampir tiga ton, kebanyakan jenis layang dan pelagis kecil seperti cakalang, termasuk di antara beberapa jenis ikan yang sangat laku di pasaran.

Kalau dinilai dengan rupiah, harga ikan yang dibuang itu mencapai lebih Rp10 juta lebih dengan asumsi harga rata-rata Rp3.500/kg, karena saat itu sedang puncak panen sehingga harga di pasaran jatuh hingga Rp2.500 sampai Rp3.500/kg. Pada saat paceklik harga ikan akan mencapai Rp13.000,00 sampai Rp15.000,00/kg

 "Itu semua terjadi gara-gara tidak ada es batu. Ikan hasil tangkapan membusuk sehingga terpaksa dicurah ke laut. Kalau dipaksanakan jual ke pasar pasti masyarakat akan keracunan," ujar nelayan anggota Kelompok Usaha Bersama (KUB) Alam Raya Donggala, binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng itu.

Peristiwa itu terjadi di penghujung 2012. Saat itu, Effendy dan rekan-rekannya mendapatkan tangkapan yang melimpah, namun sayangnya, es batu yang dibawa sangat terbatas, hanya sekitar 50 balok karena sulit mendapat es batu di Donggala dan Palu.

Setelah beberapa hari melaut dengan kapal bertonase 30 GRT bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut, mereka mengumpulkan antara lima sampai enam ton ikan.

Es batu yang mereka miliki sebanyak 50-an balak itu hanya mampu mengamankan ikan sekitar tiga ton, sehingga yang lainnya membusuk dan akhirnya dikembalikan ke laut dalam bentuk ikan melek (mulai membusuk).

"Ini bukan kejadian pertama pak, sudah beberapa kali begitu. Bahkan sering terjadi ikan-ikan yang didaratkan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala sudah hampir tidak layak dipasarkan lagi karena kurangnya es batu," ujar Effendy.

Hal yang sama dikemukakan H. Zakir, ketua kelompok nelayan dari Ogotua, Kabupaten Tolitoli, yang juga mengoperasikan kapal ikan bantuan KKP bertonase 30 GRT yang juga beberapa kali terpaksa membuang ikan di laut karena tidak laik jual lagi.

Ia juga mengaku terpaksa mendaratkan sembilan armada penangkap miliknya bertonase rata-rata 3 GRT karena kesulitan es batu.

"Bagaimana mau dioperasikan kapalnya pak kalau tidak ada es batu. Sama dengan bohong, ikannya pasti rusak, rugi percuma," ujar Zakir.

Di Ogotua, kata tokoh masyarakat Ogotua itu, tidak ada pabrik es batu sehingga para nelayan harus mencari di Palu yang jaraknya mencapai 300 kilometer. Kalau kita membeli 50 balok es di Palu, yang utuh sampai di Ogotua paling 25 balok, yang lainnya sudah mencair di jalan," katanya.

Harganya juga termasuk mahal karena mencapai Rp13.500,00 balok produksi pabtik es swasta CV Talinti. Kalau di PPI Donggala hanya Rp9.000/balok, namun untuk melayani nelayan Donggala sendiri sudah tidak cukup karena kapasitasnya sangat terbatas.

Sakir yang memiliki 20 nelayan anggota KUB itu mengaku pernah membangun pabrik es namun kini tidak bisa berproduksi lagi karena bahan bakar (solar) terlalu mahal sehingga biaya produksinya jauh lebih tinggi dibanding membeli es balok di Palu meski dengan berbagai resiko (susut) di jalan.

"Mau mengandalkan listrik untuk pabrik es juga tidak bisa, karena aliran listrik di daerah mereka belum 24 jam sehari. Listrik PLN hanya menyala malam hari (12 jam), padahal untuk memproduksi es balok harus ada listrik sepanjang hari," ujarnya.


Produksi tidak maksimal
Kelangkaan es balok tersebut memberikan dampak besar terhadap penghasilan nelayan karena ada dua faktor yang diserangnya yakni harga ikan akan rendah dan produksi tidak bisa maksimal.

"Akibatnya kelangkaan es balok, kita menangkap ikan sesuai ketersediaan es saja. Ya paling dua tiga ton sudah berhenti sekalipun sebenarnya bisa menangkap sampai enam atau tujuh ton di musim puncak panen," kata Effendy dalam diskusi dengan para pelaku bisnis dan pejabat di bidang Kelautan dan Perikanan di Palu baru-baru ini.

Zakir mengatakan bahwa es batu tersebut sangat menentukan nasib nelayan sehingga kelangkaan es balok ini merupakan permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian pemerintah kalu ingin meningkatkan produksi perikanan dan mensejahterakan nelayan.

"Kalau soal jumlah ikan di laut pak, masih sangat banyak, jangan khawatir perairan kita kekurangan ikan. Masalahnya sekarang bagaimana mau menangkap banyak kalau tidak es batu tidak ada, sulit mendapat solar dan kapalnya kecil-kecil," ujarnya.

Effendy mengemukakan bahwa pendapatan nelayan tidak bisa maksimal karena selalu terjepit.

"Kita maunya tangkap banyak-banyak tapi es tidak ada. Kalau dipaksakan ikan akan busuk sehingga harganya rendah atau bisa-bisa dibuang ke laut," ujar Effendy lagi.

Ia menambahkan "kalau kita mau harga tinggi dalam arti ikannya segar segar, kita tidak dapat menangkap dalam jumlah banyak karena es untuk menjaga kesegaran ikan tidak cukup."
Karena itu, para nelayan tersebut meminta pemerintah meningkatkan kapasitas produksi es batu di sejumlah Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) agar produksi bisa ditingkatkan dengan kualitas tinggi.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Agus Sudaryanto mengakui keterbatasan pabrik es untuk melayani kebutuhan nelayan.

Ia menyebutkan bahwa pabrik es di PPI Donggala hanya mampu menyediakan es sebanyak 200 balok setiap hari (24 jam), sementara pabrik es swasta di Kota Palu hanya mampu memasok 250 balak tiap hari yang didrop dua hari sekali, sedangkan pabrik es di Kota Donggala mensuplai 500 balok perhari.

Pada musim puncak penangkapan ikan, kebutuhan es balok nelayan di PPI Donggala saja mencapai antara 2.000 sampai 2.500 balok, padahal suplai setiap hari hanya sekitar 1.000 balok.

Jadi, kemampuan suplai es balok ketiga pabrik es tersebut saat ini hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan nelayan pada musim paceklik. Musim paceklik ikan baik akibat cuaca buruk sehingga nelayan tidak melaut atau karena memang sedang sepi ikan di laut ini terjadi antara empat sampai lima bulan dalam setahun.

Kelangkaan es balok ini tidak hanya terjadi di wilayah Palu dan Donggala saja tetapi juga di berbagai tempat di Sulteng baik di kawasan Teluk Tomini maupun Teluk Tolo.

Karena itu, mulai 2013 ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah akan meningkatkan kapasitas pabrik es balok di setiap PPI seperti di PPI Pagimana akan dibangun pabrik es berkapasitas 10 ton dan di PPI Paranggi, Kabupaten Parigi Moutong berkapasitas 2,5 ton/hari dan di Tolitoli berkapasits 10 ton.

Pada 2014, PPI Donggala akan memiliki pabrik es berkapasitas 10 ton dan sebuah gudang pendingin (cold storage) serta di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang baru akan dibangun 2013 ini akan memiliki pabrik es berkapasitas 15 ton pada 2014 serta sebuah gudang pendingin (cold storage).

"Jadi, kalau mau produksi ikan ditingkatkan, harganya relatif stabil dan pendapatan nelayan bertambah, kami minta bantuan pemerintah untuk mencarikan jalan keluar soal penyediaan es balok ini. Permintaan kami itu saja," ujar Effendy saat berdialog dengan Direktur Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan pada Kementerian KP Sadullah Muhdi di Palu, Selasa (12/2).

(Sumber: Rolex Malaha)
Read 3912 times
Rate this item
(0 votes)
Published in Feature
Login to post comments

Galleries

 
  Penulis : Redaksi  /  Editor : Fred Daeng Narang Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) – Masyarakat adat...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Kawasan Wisata Terpadu Gowa...
  Penulis : Andi Mahrus Andis.   Makassar (Phinisinews.com) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi...
  Penulis : Redaktur Medan (Phinisinews.com) - Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia, Hence...

Get connected with Us