Penulis : Uci Syam / Editor : Ahmad Imron
Makassar (Phinisinews.com) – Kementerian Agama Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan dan Forum Terpadu KKGA SD, MGMP SMP dan MGMP SMA / SMK melaksanakan kegiatan peningkatan kompetensi dan penguatan moderasi beragama (MB) Guru Agama Islam (PAI) angkatan ke-3 se Kabupaten Gowa, di salah satu hotel di Kota Makassar (7-9 Juni 2024), Minggu.
Kegiatan dibuka Kepala Kantor Kemenag Gowa, H Aminuddin, S.Ag, M.Ag yang mengatakan bahwa sebagai sebuah program, moderasi beragama dapat dimaknai sebagai upaya memoderasi penganut agama, agar dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya tidak terjebak pada dua kutub ekstrem, baik yang terlalu ketat atau yang terlalu longgar.
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang dianut dan dipraktekkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, dari dulu hingga sekarang. Pemerintah pun menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Dalam konteks aqidah dan hubungan antarumat beragama, lanjutnya, moderasi beragama (MB) adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya. Moderasi beragama sama sekali bukan pendangkalan aqidah, sebagaimana dimispersepsi oleh sebagian orang.
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam Gowa, Ishak Ibrahim, SE, MM mengharapkan kepada semua peserta setelah melakukan kegiatan ini mengupayakan menyelesaikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dalam bentuk Aksi Tindak Lanjut (ATK) di sekolah masing masing.
Dalam konteks sosiol budaya moderasi beragama, berbuat baik dan adil kepada yang berbeda agama adalah bagian dari ajaran agama (al Mumtahanah ayat 8).
Sedangkan dalam konteks berbangsa dan bernegara atau sebagai warga negara, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban berdasar agama. Semua sama di mata negara. Dan dalam konteks politik, bermitra dengan yang berbeda agama tidak mengapa. Bahkan ada keharusan untuk “committed” terhadap kesepakatan-kesepakan politik yang sudah dibangun walau dengan yang berbeda agama, sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman empiris Nabi di Madina dan sejumlah narasi verbal dari Nabi.
Moderasi beragama bertentangan dengan politik identitas dan populisme. Sebab, di samping bertentangan dengan ajaran dasar dan ide moral atau “the ultimate goal” beragama, yakni mewujudkan kemaslahatan, juga sangat berbahaya untuk konteks Indonesia yang majemuk.
Dalam konteks intra umat beragama, moderasi beragama tidak menambah dan mengurangi ajaran agama, saling menghormati dan menghargai jika terjadi perbedaan (apalagi di ruang publik) dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah ilmiah.
“Tidak boleh atas nama moderasi beragama, semua boleh berpendapat dan berbicara sebebasnya, tanpa menjaga kaidah-kaidah ilmiah dan tanpa memiliki latar belakang dan pengetahuan yang memadai,” ujarnya.
Cara beragama moderat seperti inilah yang selama ini menjaga kebhinekaan dan keIndonesiaan kita. Lalu mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menjadikannya sebagai program prioritas, jika dari dahulu hingga sekarang sebagian besar penduduk negeri ini sudah moderat?, ucapnya dan melanjutkan bahwa ada beberapa dinamika dan fakta sosiologis yang mendasarinya.
Kemajuan tehnologi informasi dan globalisasi telah menciptakan realitas baru, baik positif maupun negatif, dan mendisrupsi berbagai aspek, ucapnya tanpa menguraikan lebih lanjut. (US/AI).