Sejauh ini dalil tentang berita dan karangan khas (feature) senantiasa beragam pendekatannya, namun semuanya memiliki kesepahaman dalam proses dan hasil kerjanya.
Dalam bahasa yang gamblang, banyak wartawan berpendapat "Berita adalah semua hal yang patut dipublikasikan."
Hal itu dibenarkan pula oleh tiga sekawan dosen Universitas Tennessee (Amerika Serikat) Julian Harriss, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson-dalam buku "The Complete Reporter" pada tahun 1985.
Bahkan, mereka merumuskan pula bahwa berita sedikit-dikitnya meliputi menyangkut kepentingan manusia, kejadian dari peristiwa, memiliki fakta dan pendapat yang menarik perhatian publik, kejadian baru atau sesuatu yang menarik untuk diperbarui lagi, berbagai hal yang patut mendapat perhatian publik, sesuatu yang akurat, terikat waktu, membangkitkan rasa ingin tahu, penuh hal-hal baru dan berdampak terhadap perhatian publik, semua hal yang terjadi, yang membangkitkan inspirasi untuk mengehathui apakah hal itu, dan bagaimana hasilnya dari perkembangan hal tersebut, gabungan dari semua kegiatan rutin yang menyentuh rasa kemanusiaan, dan menjadi perhatian dari banyak khalayak.
Sementara itu, sejumlah pakar ilmu komunikasi seperti Wilbur Schramm dan Harold Laswell, keduanya dari Amerika Serikat berpendapat bahwa berita sedikit-dikitnya memberikan jawaban terhadap lima unsur "W" -Who says What at Where and When,then Why- (siapa mengatakan apa, dimana dan kapan, kemudian mengapa), serta dilengkapi satu unsur "H" alias "How" (bagaimana).
Dari berbagai pengertian tentang berita seperti di atas, maka setidak-tidaknya apa itu berita dapat tergambarkan lebih jelas. Namun demikian, tahap pelaksanaan untuk mencari berita seringkali dianggap bukanlah hal yang mudah. Permasalahan yang sama, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai lebih rumit lagi, juga terjadi dalam proses pembuatan karangan khas.
Sebagaimana berita, istilah karangan khas juga memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang. Dan, pada hasil akhirnya pengertian karangan khas berada di muara yang sama, yaitu karya jurnalistik yang susunan dasarnya sama dengan berita.
Hanya saja, karangan khas --seperti juga namanya-- memiliki sesuatu yang lebih khas dibanding berita. Oleh karena, karangan khas merupakan berita yang berkedalaman. Lebih dalam untuk mengungkapkan latar belakang satu permasalahan. Lebih dalam penuturannya. Lebih dalam informasi yang diungkapkan. Dan, diharapkan lebih dalam memeras rasa kemanusiaan pembaca atau publik pada umumnya.
Bahkan, banyak wartawan yang menyatakan lebih mudah mengungkapkan satu permasalahan pelik dalam bentuk karangan khas dan foto dibanding berita biasa. Kenapa?. Oleh karena, karangan khas memuat unsur latar belakang sebagai wujud “kedalaman” dari berita yang terkesan informasinya masih sepotong-sepotong.
Dengan kata lain, berita ibarat makan nasi saja, sedangkan karangan khas seperti memakan nasi komplit dengan lauk pauknya.
Pada kenyataan di lapangan, wartawan dalam tugasnya juga dituntut untuk lebih dahulu menyelesaikan berita, baru kemudian menuliskan karangan khas tatkala informasinya sudah lengkap. Hal ini lebih terlihat jelas bagi wartawan kantor berita.
Kenyataan di lapangan pula yang sering menunjukkan bahwa wartawan --terutama wartawan pemula-- dalam menuangkan gagasannya menghadapi kendala internal, yaitu kesulitan mencari bahan berita. Namun, begitu banyak mendapatkan bahan berita, ternyata menghadapi kesulitan untuk menuangkannya dalam tulisan. Dan, kesulitan berikutnya adalah upaya untuk mengakhiri penulisan berita. Masalah klasik seperti ini terjadi pula dalam penyusunan karangan khas.
Dalam sejarah pers sempat tercatat anekdot bahwa Napoleon Bonaparte sebagai Sang Kaisar Kerajaan Prancis, yang juga panglima perang kawakan, mengatakan bahwa dirinya lebih baik menghadapi senapan dari satu batalyon militer dibanding harus menghadapi satu pena wartawan.
Pada bagian lain, banyak orang yang menyebut wartawan adalah “Ratu Dunia” karena hasil pekerjaannya senantiasa menarik perhatian masyarakat dunia.
Benarkah sebegitu hebat posisi atau keberadaan wartawan? Pertanyaan semacam itu secara mudah dapat dijawab “Ya” dan “Tidak”, apalagi pada masa persaingan antar-wartawan untuk mendapatkan berita tercepat, terakurat, dan terlengkap.
Persaingan!. Hal inilah yang agaknya menjadi “agenda tetap” wartawan dewasa ini. Oleh karena, dalam situasi dan kondisi pers idealis dan industrialis saat ini yang diutamakan adalah bagaimana pers dapat menjalankan peran idealis sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat, dan memberikan hiburan. Selain itu, pers dalam fungsinya sebagai lembaga industri perlu pula mengembangkan berita yang bernilai bisnis dari segi iklan.
Sekalipun demikian, wartawan keberhasilan awalnya lebih banyak ditentukan dari persiapan hingga hasil peliputan (reportase)-nya. Dengan kata lain, proses dan hasil pekerjaan bagi wartawan sama pentingnya.
Masyarakat umum seringkali mendengar istilah “wartawan senior” dan “wartawan junior”, namun seringkali sebutan itu justru menjerumuskan bagi kalangan wartawan sendiri. Oleh karena, dunia kewartawanan adalah dunia yang cenderung egaliter atau semuanya dalam posisi sederajat.
Bahkan, para wartawan di antara sesama mereka sering bergunjing “Apa beda wartawan senior dengan wartawan junior?. Apakah mereka dibedakan dari segi usia, atau justru pengalaman?”
Hampir di setiap media massa yang berusia lanjut atau di atas 10 tahun, menempatkan posisi wartawan senior dan junior dari dua sudut perhitungan profesional, karena ada asumsi bahwa wartawan yang berusia tua otomatis memiliki banyak pengalaman.
Namun, sudut perhitungan profesional lainnya justru berpendapat bahwa wartawan senior bisa saja masih berusia muda, namun secara pribadi memiliki hasil peliputan yang senantiasa memiliki “nilai jual” atau mampu menjadi topik pembicaraan banyak orang.
Sejumlah media massa yang mapan -bertiras lebih dari 100.000 eksemplar-menempatkan sebutan “wartawan senior” bukanlah dari segi usia, namun dari kemampuan
wartawannya menjalani proses liputan terbaik.
Wartawan dalam tugas kesehariannya seringkali harus menjalankan tiga peran yang harus
dimainkannya, yakni sebagai: 1. Journalist. 2. Agent. 3. Lobbyist.
Wartawan sebagai “journalist”, merupakan tugas dasarnya sebagai orang yang melaporkan (de journale) kejadian dari fakta-fakta yang terjadi.
Sebagai “agent”, wartawan menerapkan cara kerja “journalist” yang dalam prosesnya melakukan serangkaian pengumpulan fakta-fakta dari suatu kejadian yang dipaparkan untuk kepentingan umum melalui media massanya.
Sementara itu, wartawan sebagai “lobbyist” merupakan satu kecenderungan yang tidak terlepaskan dalam tatanan kehidupan sosial dari tingkat bawah hingga atas, sehingga
secara pribadi mampu memberikan masukan positif bagi pemegang kebijakan.
“Jika saja ada wartawan yang mampu menjalankan tiga posisi tersebut secara tepat, maka
ia merupakan wartawan senior yang bersikap profesional," demikian pendapat yang sering dilontarkan oleh DR (HC) H. Rosihan Anwar, salah seorang tokoh pers Indonesia.
Paling tidak, wartawan dalam tugas kewartawannya harus “pandai-pandai” menempatkan diri, sehingga karya jurnalistiknya menjadi lebih komprehensif (lengkap, mencakup semua hal). Dalam hal ini wartawan tidak saja dituntut mampu bekerja keras, tetapi harus pula dapat bekerja cerdas.
Penempatan posisi wartawan sekaligus agen pembaruaan, dan pelobi semacam itu, menurut Jacob Oetama -pendiri, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Umum Kompas-yang wartawan senior dari segi usia dan “jam terbang”, dapat dibenarkan.
“Oleh karena itu, wartawan yang baik dalam arti selalu ingin mengasah kemampuannya secara naluriah akan terlatih menjadi pelobi di semua kalangan masyarakat, dan berita yang dihasilkannya bertujuan memperjuangkan kepentingan umum sehingga ia layak disebut sebagai agen pembangunan mental dan spiritual,” demikian Jacob Oetama dalam satu diskusinya dengan sejumlah wartawan muda di Jakarta beberapa tahun lalu. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).
Berita dan Karangan Khas
(Sumber: Priyambodo)
Read 4261 times | |
Published in
Dokter News
|
Latest from Phinisi Admin
Login to post comments